Rabu, 25 November 2009

The Chosen Way

Rasanya seperti sedang berdiri di atas tebing.
Jauh di depan sana ada sebuah tebing lain. Kedua tebing itu dipisahkan oleh jurang yangg sangat dalam.
Aku memandang tebing di seberang. Cukup jauh untuk kulompati.
Jarak antar tebing itu sangat lebar...

Dari belakang, terdengar suara memanggil2
"Jangan nekat! Jangan coba melompat ke seberang! Tetaplah disini bersama kami! Di Neverland ini, kau akan bahagia."
"Tapi dunia ini begitu luas, tak hanya tempat ini... Aku ingin pergi dan melihatnya..." ucapku.

Salah satu dari mereka, yang tampaknya paling tua usianya, berkata,
"Aku sudah melihatnya. Terlalu menjijikan, bagai sampah styrofoam yg tak habis dicerna bumi. Dan sampah selamanya tetap sampah. Menjijikan. Hanya bisa merusak. Itulah keadaan di luar sana."
"Itu katamu. Bagaimana kau mengharap aku akan mengalami hal yg persis sama denganmu? Aku berbeda denganmu!" jawabku.

Yang paling emosional dari mereka berkata,
"kau akan menjadi perempuan jalang jika pergi kesana!"
tidak kugubris. Bagaimanapun, itu hanya ucapan konyol dari seseorang yang tidak berpikir.

Yang paling "Ratu Drama" berkata,
"Bukankah aku sudah berbuat begitu banyak untuk menyenangkanmu? Aku sudah begini banyak berkorban dan ini balasanmu?"
Juga tidak kugubris.

Yang paling muda menjerit, sumpah serapah, caci maki, dan hinaan keluar dari mulutnya.
Peduli amat.

Aku berjalan mendekati mereka.
"Aku tak peduli kalian akan melecehkanku, menghinaku, atau semacamnya. Karena temanku bukan hanya kalian! Kalian hanyalah penghuni Neverland yang statis, menolak perubahan dan melecehkan orang yang mau menerima resiko berubah! Sekarang lihatlah, akan kugapai tebing di seberang sana!"

Sambil berkata begitu aku berbalik dengan cepat, dan berlari menuju pinggir tebing, mengambil ancang2 melompat.

Kemudian aku melompat! Aku menyongsong tebing itu. Namun...

Kakiku tidak sampai.

Aku jatuh.

"Tidak! Aku tak akan biarkan berakhir disini! Aku masih ingin melihat luasnya dunia!" jeritku dalam hati.

Tiba2 aku berhenti di udara, dan sesaat kemudian melayang kembali ke atas.

Kutengok punggungku.

Sepasang sayap putih berkilau tumbuh di punggungku.

Ya. Inilah jawabannya. Bila sudah berniat dan berusaha mewujudkannya sungguh2, selalu akan ada bantuan datang.

Aku melesat terbang ke atas. Saat kakiku sejajar dengan tebing, kulihat wajah2 terkejut dan tidak percaya para penghuni Neverland. Apakah mereka tetap melecehkan? Entah. Aku sudah tak peduli. Aku berbalik dan mendarat di tebing seberang.

Kini, aku siap menyongsong dunia luas itu...

Aku siap untuk menghadapi dunia baruku.

Karena inilah jalan yg telah kupilih...

Selasa, 24 November 2009

Synchronized Mind and Heart

Saat kelas XII guru Kesenian saya mengatakan bahwa untuk menjadi manusia yang tough, diperlukan sinkronisasi antara logika, yang dominan dimiliki laki-laki, dengan emosi, yang dominan dimiliki oleh perempuan.

Mendengarnya kemudian saya bertanya-tanya, seperti apakah kiranya sikronisasi antara logika (pikiran) dengan emosi (hati) tersebut. Seiring berjalannya waktu, saya pun berusaha merumuskan bagaimana caranya agar hati dan pikiran bisa sinkron, dan apa efeknya terhadap kehidupan. Dan inilah pembahasannya.

Apa yang dimaksud Sinkronisasi Hati dengan Pikiran?

Suatu keadaan dimana seorang individu dapat memfungsikan hati dan pikirannya secara efektif dalam menghadapi berbagai macam situasi. Biasanya individu seperti ini mampu menilai secara obyektif dan netral, tidak berat sebelah.

Terlebih dahulu, kita harus mengerti arti “pikiran” dan “hati” pada bahasan ini.

Hati
Dalam bahasan ini, hati akan diidentikkan dengan “emosi” dan “perasaan”. Hati menyediakan solusi sebuah masalah secara emosional, dan terkadang tidak sesuai nalar.

Pikiran
Dalam bahasan ini, pikiran diidentikkan dengan “logika”. Logika berperan dalam menyediakan alternatif jalan keluar dari suatu masalah secara analitis dan bisa diterima nalar.

Konflik antara hati dan pikiran
Konflik antara hati dengan pikiran terjadi ketika individu menghadapi suatu masalah. Hati memainkan pernanan penting dalam memberi reaksi emosional individu, sedangkan pikiran berusaha tenang dan mereka-reka puzzle yang membentuk alternatif jalan keluar terbaik berdasarkan nalar. Reaksi emosional hati terkadang tidak sesuai dengan logika, sehingga disinilah terjadi pertentangan.

Apa yang terjadi bila hati dan pikiran tidak sinkron?

Bila hati yang lebih dominan
Efeknya, individu hanya akan mempermalukan diri sendiri karena terlalu menuruti emosinya. Individu akan dicap sebagai orang yang over-sensitif (atau bahasa gaulnya, sensi) dan temperamental. Bila dibiarkan berlarut-larut, individu akan terkenal sebagai drama queen / king (terlalu mendramatisir suasana).

Individu seperti ini biasanya akan memiliki karakter yang sangat emosional, temperamental, over-reaktif, dan moody, mood-nya sangat mudah berubah-ubah sesuai dengan suasana hati (sangat reaktif terhadap suasana hati). Positifnya, individu dengan karakter ini sangat peka terhadap sekitarnya, oleh karena itu kemampuan berempatinya tinggi. Namun jika kemampuan berempati ini terlalu tinggi, siap-siap saja mengalami konflik dalam persahabatan karena sifat yang dianggap “sok mengerti-sok paham” oleh orang lain.

Bila logika yang lebih dominan
Pun jika individu terlalu menuruti logikanya. Individu tersebut akan dicap sebagai seorang yang keras kepala dan dingin. Malah, dalam beberapa ajaran agama tertentu, akan dianggap sekuler.

Individu dengan karakter seperti ini, memiliki kepala dingin dan tidak mudah tersulut emosinya. Saat adu argumen, ia mampu membalikkan argumen dengan baik, karena kemampuan nalarnya yang tinggi. Sisi negatifnya, ia menjadi keras kepala karena menganggap logikanyalah yang selalu benar, dan hal ini memicu timbulnya sikap selalu mau menang sendiri dan akhirnya berkembang menjadi egois. Individu dengan karakter seperti ini juga termasuk susah berempati terhadap sekitarnya.

Menyelaraskan hati dengan pikiran

Cara untuk membuat hati “akur” dengan pikiran, salah satunya adalah dengan mencari atau membuat waktu khusus untuk menyendiri dan memikirkan masalah-masalah yang sedang dihadapi. Secara alami, hati akan memberi reaksi-reaksi emosional, dan logika dengan sendirinya akan berusaha meredam ledakan-ledakan emosi yang berlangsung sehingga pada titik tertentu, akan tercapai kondisi tenang dan terang dalam pikiran dan hati, dan biasanya pada saat inilah sebuah solusi yang dianggap terbaik akan muncul dalam wujud ilham.

Bagaimana caranya?
Terlebih dahulu, individu harus memikirkan suatu masalah dalam kondisi setenang-tenangnya. Saat hati mulai memberi reaksi-reaksi emosional, langsung fungsikan pikiran untuk meredam agar ledakan emosi tidak perlu sampai terjadi. Caranya bisa menarik napas panjang sebanyak paling tidak 3 kali saat diri kita mulai dikuasai emosi. Cara ini biasanya mujarab untuk menenangkan pikiran, karena oksigen yang dihirup akan “menyegarkan” pikiran.

Apa yang terjadi bila hati dengan pikiran dapat sinkron?

Yang paling tampak, individu akan cenderung menghadapi masalah dengan kepala dingin, namun tetap dapat bisa berempati, sehingga memudahkannya dalam mengambil keputusan atau alternatif yang dapat memuaskan semua pihak.

Selain itu, individu juga akan menjadi lebih legowo dalam menerima keputusan yang kurang memuaskan baginya. Ia akan menerimanya tanpa banyak cingcong maupun protes.

Individu dengan karakter seperti ini juga tidak mudah meledak-ledak saat emosinya tersulut, melainkan diam, berpikir, dan pada saatnya dia menemukan celah, dia akan mengemukakan alasan dan pandangannya. Bila apa yang dia katakan dijadikan argumen untuk menyerangnya, ia akan diam, dan berlalu, menjauh, cuek, karena dia tidak mau berlarut-larut dalam menghadapi sesuatu. “Lebih baik biarkan waktu yang menunjukkan kebenarannya,” begitulah prinsipnya.


Sumber: http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2009/11/synchronized-mindandheart/ (original post from me)

Kembali ke Yang Absolut

Banyak cara yang dapat dilakukan untuk menjaga mental agar tetap sehat.
Dari semua cara yang ada, ada sebuah cara yang sederhana untuk diucapkan, namun untuk melakukannya diperlukan kemauan yang kuat.

caranya adalah: Kembali ke Yang Absolut

Absolut disini tak lain tak bukan adalah Tuhan.

Yap, dengan berpegang pada Tuhan, kita tidak akan pernah kehilangan arah.
Coba bandingkan dengan berpegang pada orang lain… bila orang tersebut pergi?
Kita akan merasa hilang arah.
Sedih berkepanjangan.
Depresi.
Lepas kontrol.
Bad mood.
Destruktif.
Bahkan berpotensi mengakibatkan gangguan mental.

Mau contoh?
Seorang yang menjadi gila karena cinta yang tidak tersampaikan.
Perbuatan menghancurkan sesuatu.
atau lebih sederhananya: Pembunuhan.
Bukankah banyak pembunuhan terjadi disebabkan oleh tidak terpenuhinya suatu kebutuhan?

Apa yang kira-kira dipikirkan oleh para pelaku perbuatan tersebut ya?
tak lain adalah:
AKU HARUS MENDAPATKAN APA YANG KUINGINKAN
tak peduli bagaimana caranya? Ya!

Bila keinginan tidak beralaskan pada Yang Maha Mengabulkan, maka keinginan tersebut selalu menuntut pemuasan, bahkan kalau perlu menghalalkan segala cara.

karena itulah, angka pembunuhan di negeri kita naik. Begitu pula dengan angka korupsi, kolusi, konspirasi, dan perbuatan melanggar hukum lainnya. semua naik karena hal ini.

Ya, mereka lupa bahwa semua yang mereka kejar, dan apa yang mereka jadikan pegangan, semua itu adalah fana.

Karena itulah, saat apa yang mereka pegang itu berlalu…
akibatnya bisa sangat fatal.

karena itulah, yang harus diubah disini adalah mindset individu.
bolehlah mengejar kesenangan dunia, tapi tetap harus berpegang pada Yang Memiliki Dunia itu sendiri, yaitu Tuhan.

caranya bagaimana?
simpel. Jangan lupa bersyukur setiap mendapat hal yang menyenangkan maupun menyedihkan.

Saat ada yang memberatkan, cobalah bicara pada-Nya. Layaknya curhat pada seorang teman. Layaknya curhat pada buku diary. cuma… ada tambahan keuntungan, yaitu dijamin curhatan kita tidak akan bocor. Dan pasti Tuhan akan menunjukkan jalan keluar yang terbaik untuk kita. Sesakit apapun, tetapi hasilnya adalah yang terbaik untuk kita.

Seperti kata Leo Tolstoy: Tuhan tahu, tapi menunggu.

Ya, Tuhan tentu tahu. namun Dia menunggu, sambil merangkai balasan yang pada waktunya akan Ia kirimkan kepada manusia.

Karena itu, dengan berpegang kepada Yang Absolut seperti Tuhan, manusia tidak akan kehilangan arah. Walaupun ada saatnya mereka jatuh, namun selama manusia tetap berpegang pada Tuhan, mereka akan tetap yakin bahwa mereka dapat melewati masalah apapun yang mereka hadapi.
Bila hal itu dapat diaplikasikan dalam seluruh aspek kehidupan, niscaya mental kita senantiasa terjaga kesehatannya.

Sumber: http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2009/11/back-to-the-absolut/ (original post from me)

Minggu, 22 November 2009

Kenapa Kamu Berubah?

KULIAH INI MEMBUNUHKU!!!

bukan, itu bukan potongan lirik lagunya de'masip yg baru...
itu adalah jeritan hati seorang gadis (jiah bahasanya) yg merasa hectic gara2 tugas kuliah yg never ending. Mending paper semua, ini? makalah!



anw, nothing special these days... hmmm kecuali sebuah pertanyaan yang terasa menggelitik buat gw...

kalo dihina ama orang yg loe kenal, gimana perasaan loe?


gimana? gimana yah?

kalo dijabarin kira2 bakal gini:

reaksi alami
jelas kagetlah, manusia mana yg ga kaget pas dikatain?

kemudian...
yaaaa pikir2 aja kayak gini:

dia kenal ama gw dah berapa lama?
selama kenal, intensitas bicaranya tinggi atau tidak?
saat bicara, siapa yang mendominasi?

pada akhirnya, akan didapat konklusi sebagai berikut:
yg ngatain berarti ga kenal ama kita.

oke, udah kenal cukup lama... tapi seberapa sering ngobrolnya?
kalo ngobrol siapa yang lebih mendominasi?
ini poin pertama yang peru diperhatikan.

poin kedua,
balik ke cara orang mengapresiasi.
oke, dia bisa nilai kita dari apa yg dia lihat ada di kita.

tapi apa anggapannya itu memang sesuai dengan diri kita?

ingat, yg paling tau diri kita ya... kita sendiri


biasanya, kalo ada konflik ama temen, si temen itu paling minimal bakal ngeluarin kata2 kayak gini:

kok sekarang loe kayak gini sih, loe yg dulu yg bla-bla-bla itu kemana?


Harapan si teman : kita tersentuh, mikirin ucapan si teman, dan kembali ke diri yang dulu, yang belum tentu bikin kita nyaman.

Terus gimana dong?
diemin aja, ato iya2in aja
padahal masuk kiri-keluar kanan...

mikirnya gini deh, yang namanya manusia itu ga bisa dan ga akan pernah bisa memuaskan semua pihak.
karena itulah, di satu sisi manusia berusaha memuaskan orang lain dengan sikapnya, dan pada saat bersamaan, manusia juga menemukan dan mempelajari hal-hal baru yang kemudian mempengaruhi sikapnya itu.

nah, yang namanya perubahan, pasti akan memicu pro dan kontra.

yang pro akan bilang

gue seneng liat loe sekarang, lebih menyenangkan


yang kontra akan bilang

kok loe berubah sih? mana loe yang dulu? yang bla-bla-bla...


sekarang pilihan kembali pada kita. kalo kita merasa perubahan yang terjadi pada diri kita adalah positif, ditambah lagi komentar orang2 dekat kita (dalam artian teman dekat atau sohib, yaaaa yang sering ketemu and chit-chat atau tukar pendapat lah), kenapa harus takut pada yang kontra?

ga perlu takut, mereka yang kontra tidak akan pernah setuju melihat perubahan kita karena mereka menganggap kita "menjauh" dari mereka.
Biasanya, mereka akan mencari objek pelampiasan kesalahan dari kita.
Peduli? Tak perlu.
Karena itu berarti mereka yang kontra tidak sepenuhnya mengenal diri kita.

Untuk remaja, hal ini sering terjadi.
Mungkin penyebabnya adalah apresiasi pihak kontra terhadap diri kita dengan menggunakan pandangan yang egosentris (berpusat terhadap diri, dalam hal ini, diri pihak kontra).

Solusi?
Perluas hati, lapangkan dada. Dunia tidak berputar mengikuti kemauan kita bukan?
Bila ada temen yang "tau2 tampak berbeda", ya jangan langsung dikontra, jangan malah keluarin jurus "kok-kamu-sekarang-begini-?"
biasanya, kalo menerima jurus begitu pasti bakal kesel kan?
kita akan mikir: "Siape loe?"
Terus gimana?
enaknya mending diterima aja... kalo terasa negatif ya baru diomongin.

Nah, ngomongnya juga ada seninya...

  • ga boleh pake ego
  • ga boleh nyari kambing hitam
  • ga boleh straight to the point
  • liat mood!!!
  • kalo bisa dibawa rileks aja, santai. Boleh juga dibuat pertanyaan ringan, kayak angin lalu gituh.


Naaah, kalo 5 syarat itu bisa kita penuhi, Insya Allah ngobrol2 ama temen juga enak...
kalo ala reality show malesin juga kali. Iya gak?

Hope it works! =D

Elkind : Enam Karakteristik Pemikiran Remaja

Saat anak-anak memasuki masa remaja, salah satu perkembangan yang vital adalah cara berpikir mereka.

Pada saat seperti ini, biasanya orangtua akan memperlakukan anak seperti orang yang-sudah-besar, seperti misalnya saat menasihati anak, orangtua akan berkata: “Kamu sudah besar, bukan anak-anak lagi, bla-bla-bla…” Nah, biasanya remaja merasa “ah, gue-udah-bisa-mikir-sendiri” saat dinasihati orangtua, maka tidak jarang berakhir dengan bentrok antara remaja dengan orangtuanya. Remaja juga cenderung bersikap egois dan semau-gue, serta bertindak seolah mereka adalah pusat dunia.
Ini juga menjelaskan kenapa sering terjadi bentrok antara remaja dengan orangtua. Yang perlu dipahami disini adalah: bagaimana remaja melihat diri dan dunia mereka, bagaimana mereka mengapresiasi sesuatu, kini tidak hanya dipengaruhi oleh orang tua, melainkan juga lingkungan mereka.
Perlu diketahui bahwa bagaimanapun remaja adalah seorang individu yang sudah mulai bisa berpikir secara mandiri, hanya masih perlu diarahkan agar tidak lepas kendali.


Menurut David Elkind, perilaku seperti itu bersumber dari usaha remaja untuk masuk ke pemikiran formal. Saat memasuki masa remaja, seorang individu mengembangkan cara berpikir mereka, yang mengakibatkan perubahan dalam cara mereka mengapresiasi terhadap diri sendiri dan dunia mereka. Dalam proses pengembangan inilah, kadang mereka “tersandung” layaknya proses latihan jalan seorang bayi.

Masih menurut Elkind, pemikiran belum matang ini dapat dimanifestasikan ke dalam setidaknya 6 karakteristik.

Idealisme dan Kekritisan


Impian remaja akan dunia yang ideal. Mereka merasa yakin bahwa mereka lebih mengetahui bagaimana menjalankan dunia ketimbang orang dewasa. Karena itulah mereka sering mengkritik orangtua, yang juga menjelaskan kenapa remaja sering bentrok dengan orangtua.

Contoh:
Remaja sangat reaktif terhadap peraturan sekolah yang kadang-kadang terasa tidak masuk akal. Tetapi karena mereka segan untuk mengkritik guru maupun kepala sekolah (karena jelas resikonya DO), maka mereka melanggar aturan-aturan sekolah yang mereka anggap aneh untuk menunjukkan bahwa “aturan-itu-ga-masuk-akal”, dan bila ke-”gap” oleh guru, mereka siap berdalih dengan seribu alasan.

Argumentativitas

Kenapa sih remaja itu paling bisa deh kalo yang namanya ngeles? Seperti contoh di atas, kalau ke-”gap” guru melanggar peraturan, dan dibawa ke ruang BP untuk diceramahi, pasti ada saja alasan yang dilemparkan remaja untuk membela diri. Tak jarang setelah itu akan ada adu argumen remaja vs guru.

Wajar, karena pada masa ini remaja sering mencari kesempatan untuk mencoba atau menunjukkan kemampuan baru mereka dalam penalaran formal.

Jadi, sebenarnya figur orang dewasa harus bisa lebih memahami perkembangan cara berpikir remaja, bukannya malah marah-marah kebakaran jenggot dalam menghadapi argumen mereka.

Ragu-ragu

Remaja dapat menyimpan berbagai alternatif dalam pikiran mereka, namun tidak mampu memilih mana yang paling efektif. Hal ini disebabkan kurangnya pengalaman remaja dalam menghadapi suatu kondisi.

Contoh:

Dalam menghadapi masalah, remaja dapat berpikir “Oh, aku dapat menyelesaikannya dengan cara: begini-begini-dan-begitu-dan-sebagainya”. Namun pada penerapannya, mereka akan memilih cara yang menurut mereka paling “aman” dan “tidak beresiko”, karena kurangnya pengalaman mereka menghadapi suatu kondisi yang berakar pada masalah yang sama atau mirip.

Menunjukkan sikap hipokrit

Pernah gak merasa “Kok rasanya sikap aku di sekolah ama di rumah beda yah? Di sekolah aku begini, di rumah aku begitu (beda banget maksudnya)…”

Atau contoh lain: ke si anu ngomongnya yang bagus-baguuuuus eh giliran ke si ono ngomongnya… “Ah, gak bagus banget ah, biasa aja, malahan begini-begitu…” (yg dibicarakan adalah hal yang sama, misalnya opini tentang lawan jenis yang tampak keren atau makanan yang enak).

Penyebabnya adalah remaja seringkali tidak menyadari perbedaan antara ekspresi sesuatu yang ideal dengan pengorbanan untuk mewujudkannya.

Oke, contoh dalam kehidupan nyata:
Ani kepada Mimi: “Aih, kerennya Kim Bum! Mukanya itu lho, cute, baby face!” (karena Mimi adalah fansnya Kim Bum).
Kemudian…
Ani kepada Mona: “Kim Bum? biasa aja ah, gak cute-cute amat gitu lho, imutan Lee Min Ho kalo buat gue” (karena Mona gak begitu suka Kim Bum)

Ini juga yang menyebabkan lahirnya fenomena “follower” pada remaja, dimana jenis ini dicontohkan dengan sikap Ani, yang tidak konsisten dalam bicara. “Follower” sendiri dapat diartikan sebagai individu yang tidak konsisten dalam bicara, pendapatnya mudah berubah-ubah sesuai kemauan temannya atau geng tempat ia bergabung atau pendapat mayoritas, dan sulit berinisiatif karena takut jika opininya berbeda dengan pendapat mayoritas lingkungannya ia akan dikucilkan.

Kesadaran Diri

Remaja suka berasumsi kalau pikiran orang lain sama dengan apa yang mereka pikirkan, yaitu: diri mereka sendiri. Contohnya: ketika ada konflik antar teman, seorang remaja dapat berkata: “Kok kamu sekarang begini sih? Aku tahu kamu itu bagaimana, aku sangat paham tentang kamu, makanya bla-bla-bla…” (padahal baru kenal satu semester, misalnya). Dia menganggap lawan bicaranya akan berpikir “Oh, dia sangat mengerti aku, mengapa aku begini ya?”, padahal kenyataannya tidak harus begitu!

Contoh lainnya:
May sedang menyalin mata kuliah di perpustakaan. Tiba-tiba, saking semangatnya menulis, ia menyenggol tempat pensil sampai jatuh dari meja. May merasa sangat malu ketika mengambil tempat pensil itu, mengira orang lain melihatnya dan berbisik-bisik: “idih, tuh cewek ganggu konsen aja sih!”
Padahal, saat tempat pensil itu jatuh, orang lain memang melihatnya, namun kemudian meneruskan kesibukan masing-masing karena sudah melihat bahwa itu hanya tempat pensil jatuh.

Menurut Elkind, kondisi kesadaran diri seperti ini disebut imaginary audience, atau “penonton imajiner”. Seorang remaja merasa ia diperhatikan banyak orang saat melakukan sesuatu yang bagi mereka memalukan. Kondisi ini melekat amat kuat selama masa remaja, namun akan menurun begitu memasuki masa dewasa.

Kekhususan dan Ketangguhan

Mengapa remaja sering sekali melanggar aturan sekolah? seringkali bentrok dengan orangtua hanya gara-gara pulang-terlambat? Ini disebabkan remaja merasa tidak terikat pada peraturan yang berlaku. Mereka yakin bahwa mereka adalah “unik” dan “spesial”. Elkind mengistilahkan ini sebagai personal fable. Menurutnya, bentuk egosentrisme khusus ini mendasari perilaku self-destructive dan beresiko. Personal fable juga berlanjut hingga masa dewasa.

Inilah yang membuat remaja sebagai figur yang di satu sisi “sudah dapat berpikir sendiri”, namun pada saat yang sama juga “belum dapat meng-handle sesuatu dengan baik”.
Bagaimana membuat remaja lebih “terarah” dalam menjalani fase ini? Peran orangtua tetap dibutuhkan, namun hanya sebatas mengawasi dan mengarahkan. Jika remaja tersebut “tergelincir”, janganlah dimarahi, melainkan diarahkan: “kenapa bisa salah?” dan “mari kita pikirkan solusinya bersama”. Ini juga yang menambah nilai plus bagi orangtua yang menerapkan pola pengasuhan demokratis pada anaknya.

Sumber:
Human Development Bagian V – IX (Papalia, Old, Feldman), halaman 561-562
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2009/10/about-teenagers-mind-by-elkind/

CIRI KHAS SINETRON DI MASING2 STASIUN TV

INDOSIAR

efek 3D nanggung, kalo ga mau dibilang parah
dubbing kualitas ecek2
temanya ga masuk akal

TPI

kebanyakan sinetron hidayah padahal yg ditunjukkin cuma seberapa ngenes kematian tokoh utamanya yg jahat pisan
meniru kartun atau film terkenal (ex. Tsubasa, Ben 10, Harpot) tapi berhubung efeknya senanggung Indosiar jadi... (u know terusannya)

Kisah Raja yang Tiada Mau Berkaca

Ada seorang yang amat sombong

Ia mengira ia adalah sang Raja di kelasnya

Ia tak segan tuk hina yang tak ia suka

Tapi ia tak pernah bergerak sendiri

Saat ia mengatai dan melempari korbannya dengan sampah, ia selalu dibantu temannya

si korban pun bertanya-tanya:

"Mengapa dia tak lakukan saja sendiri, bila ia memang memiliki dendam pribadi?"

Apakah karena ia banci?
Ya, mungkin

Apakah karena ia terlalu kekanakan, karena biasanya cuma anak kecil yang beraninya keroyokan mengerjai perempuan?
Ya, sikapnya jelas menunjukkan itu

Atau apakah ia memang bukanlah pria gentle, karena bahkan ia tak bisa menghormati figur pengganti orang tua yang mengajar di sekolah?
Tampaknya, karena sang Raja lebih suka melecehkan gurunya. Padahal kalau ia tidak bersekolah ia bisa saja mati terhina di jalanan.

Kira2 mengapa sang Raja berbuat begitu?

Apakah... Sang Raja adalah pemuda broken home?

Ya, kemungkinan itu besar sekali. Melihat tingkahnya selama di sekolah, jelas tingkahnya mengindikasikan bahwa ia sedang berusaha agar teman-temannya memperhatikan dirinya

Walaupun itu dilakukan dengan cara kurang ajar, asalkan temannya suka, maka ia akan mengulanginya lagi, bahkan dengan cara yang lebih kurang ajar.

Adakah solusi?

Mudahnya sang Raja memang harus membeli kaca

Pandanglah dalam-dalam bayangannya

dan sang Raja harus berpikir:
"Apakah yang selama ini kulakukan telah mencerminkan sikap seorang pria, ataukah seorang anak kecil?"

bila ia memang seorang pria sejati, ia akan merasa malu pada bayangannya di kaca

dan akan mulai menata dirinya

hingga orang di sekitarnya 'kan memandangnya sebagai seorang pria dewasa