Minggu, 22 November 2009

Elkind : Enam Karakteristik Pemikiran Remaja

Saat anak-anak memasuki masa remaja, salah satu perkembangan yang vital adalah cara berpikir mereka.

Pada saat seperti ini, biasanya orangtua akan memperlakukan anak seperti orang yang-sudah-besar, seperti misalnya saat menasihati anak, orangtua akan berkata: “Kamu sudah besar, bukan anak-anak lagi, bla-bla-bla…” Nah, biasanya remaja merasa “ah, gue-udah-bisa-mikir-sendiri” saat dinasihati orangtua, maka tidak jarang berakhir dengan bentrok antara remaja dengan orangtuanya. Remaja juga cenderung bersikap egois dan semau-gue, serta bertindak seolah mereka adalah pusat dunia.
Ini juga menjelaskan kenapa sering terjadi bentrok antara remaja dengan orangtua. Yang perlu dipahami disini adalah: bagaimana remaja melihat diri dan dunia mereka, bagaimana mereka mengapresiasi sesuatu, kini tidak hanya dipengaruhi oleh orang tua, melainkan juga lingkungan mereka.
Perlu diketahui bahwa bagaimanapun remaja adalah seorang individu yang sudah mulai bisa berpikir secara mandiri, hanya masih perlu diarahkan agar tidak lepas kendali.


Menurut David Elkind, perilaku seperti itu bersumber dari usaha remaja untuk masuk ke pemikiran formal. Saat memasuki masa remaja, seorang individu mengembangkan cara berpikir mereka, yang mengakibatkan perubahan dalam cara mereka mengapresiasi terhadap diri sendiri dan dunia mereka. Dalam proses pengembangan inilah, kadang mereka “tersandung” layaknya proses latihan jalan seorang bayi.

Masih menurut Elkind, pemikiran belum matang ini dapat dimanifestasikan ke dalam setidaknya 6 karakteristik.

Idealisme dan Kekritisan


Impian remaja akan dunia yang ideal. Mereka merasa yakin bahwa mereka lebih mengetahui bagaimana menjalankan dunia ketimbang orang dewasa. Karena itulah mereka sering mengkritik orangtua, yang juga menjelaskan kenapa remaja sering bentrok dengan orangtua.

Contoh:
Remaja sangat reaktif terhadap peraturan sekolah yang kadang-kadang terasa tidak masuk akal. Tetapi karena mereka segan untuk mengkritik guru maupun kepala sekolah (karena jelas resikonya DO), maka mereka melanggar aturan-aturan sekolah yang mereka anggap aneh untuk menunjukkan bahwa “aturan-itu-ga-masuk-akal”, dan bila ke-”gap” oleh guru, mereka siap berdalih dengan seribu alasan.

Argumentativitas

Kenapa sih remaja itu paling bisa deh kalo yang namanya ngeles? Seperti contoh di atas, kalau ke-”gap” guru melanggar peraturan, dan dibawa ke ruang BP untuk diceramahi, pasti ada saja alasan yang dilemparkan remaja untuk membela diri. Tak jarang setelah itu akan ada adu argumen remaja vs guru.

Wajar, karena pada masa ini remaja sering mencari kesempatan untuk mencoba atau menunjukkan kemampuan baru mereka dalam penalaran formal.

Jadi, sebenarnya figur orang dewasa harus bisa lebih memahami perkembangan cara berpikir remaja, bukannya malah marah-marah kebakaran jenggot dalam menghadapi argumen mereka.

Ragu-ragu

Remaja dapat menyimpan berbagai alternatif dalam pikiran mereka, namun tidak mampu memilih mana yang paling efektif. Hal ini disebabkan kurangnya pengalaman remaja dalam menghadapi suatu kondisi.

Contoh:

Dalam menghadapi masalah, remaja dapat berpikir “Oh, aku dapat menyelesaikannya dengan cara: begini-begini-dan-begitu-dan-sebagainya”. Namun pada penerapannya, mereka akan memilih cara yang menurut mereka paling “aman” dan “tidak beresiko”, karena kurangnya pengalaman mereka menghadapi suatu kondisi yang berakar pada masalah yang sama atau mirip.

Menunjukkan sikap hipokrit

Pernah gak merasa “Kok rasanya sikap aku di sekolah ama di rumah beda yah? Di sekolah aku begini, di rumah aku begitu (beda banget maksudnya)…”

Atau contoh lain: ke si anu ngomongnya yang bagus-baguuuuus eh giliran ke si ono ngomongnya… “Ah, gak bagus banget ah, biasa aja, malahan begini-begitu…” (yg dibicarakan adalah hal yang sama, misalnya opini tentang lawan jenis yang tampak keren atau makanan yang enak).

Penyebabnya adalah remaja seringkali tidak menyadari perbedaan antara ekspresi sesuatu yang ideal dengan pengorbanan untuk mewujudkannya.

Oke, contoh dalam kehidupan nyata:
Ani kepada Mimi: “Aih, kerennya Kim Bum! Mukanya itu lho, cute, baby face!” (karena Mimi adalah fansnya Kim Bum).
Kemudian…
Ani kepada Mona: “Kim Bum? biasa aja ah, gak cute-cute amat gitu lho, imutan Lee Min Ho kalo buat gue” (karena Mona gak begitu suka Kim Bum)

Ini juga yang menyebabkan lahirnya fenomena “follower” pada remaja, dimana jenis ini dicontohkan dengan sikap Ani, yang tidak konsisten dalam bicara. “Follower” sendiri dapat diartikan sebagai individu yang tidak konsisten dalam bicara, pendapatnya mudah berubah-ubah sesuai kemauan temannya atau geng tempat ia bergabung atau pendapat mayoritas, dan sulit berinisiatif karena takut jika opininya berbeda dengan pendapat mayoritas lingkungannya ia akan dikucilkan.

Kesadaran Diri

Remaja suka berasumsi kalau pikiran orang lain sama dengan apa yang mereka pikirkan, yaitu: diri mereka sendiri. Contohnya: ketika ada konflik antar teman, seorang remaja dapat berkata: “Kok kamu sekarang begini sih? Aku tahu kamu itu bagaimana, aku sangat paham tentang kamu, makanya bla-bla-bla…” (padahal baru kenal satu semester, misalnya). Dia menganggap lawan bicaranya akan berpikir “Oh, dia sangat mengerti aku, mengapa aku begini ya?”, padahal kenyataannya tidak harus begitu!

Contoh lainnya:
May sedang menyalin mata kuliah di perpustakaan. Tiba-tiba, saking semangatnya menulis, ia menyenggol tempat pensil sampai jatuh dari meja. May merasa sangat malu ketika mengambil tempat pensil itu, mengira orang lain melihatnya dan berbisik-bisik: “idih, tuh cewek ganggu konsen aja sih!”
Padahal, saat tempat pensil itu jatuh, orang lain memang melihatnya, namun kemudian meneruskan kesibukan masing-masing karena sudah melihat bahwa itu hanya tempat pensil jatuh.

Menurut Elkind, kondisi kesadaran diri seperti ini disebut imaginary audience, atau “penonton imajiner”. Seorang remaja merasa ia diperhatikan banyak orang saat melakukan sesuatu yang bagi mereka memalukan. Kondisi ini melekat amat kuat selama masa remaja, namun akan menurun begitu memasuki masa dewasa.

Kekhususan dan Ketangguhan

Mengapa remaja sering sekali melanggar aturan sekolah? seringkali bentrok dengan orangtua hanya gara-gara pulang-terlambat? Ini disebabkan remaja merasa tidak terikat pada peraturan yang berlaku. Mereka yakin bahwa mereka adalah “unik” dan “spesial”. Elkind mengistilahkan ini sebagai personal fable. Menurutnya, bentuk egosentrisme khusus ini mendasari perilaku self-destructive dan beresiko. Personal fable juga berlanjut hingga masa dewasa.

Inilah yang membuat remaja sebagai figur yang di satu sisi “sudah dapat berpikir sendiri”, namun pada saat yang sama juga “belum dapat meng-handle sesuatu dengan baik”.
Bagaimana membuat remaja lebih “terarah” dalam menjalani fase ini? Peran orangtua tetap dibutuhkan, namun hanya sebatas mengawasi dan mengarahkan. Jika remaja tersebut “tergelincir”, janganlah dimarahi, melainkan diarahkan: “kenapa bisa salah?” dan “mari kita pikirkan solusinya bersama”. Ini juga yang menambah nilai plus bagi orangtua yang menerapkan pola pengasuhan demokratis pada anaknya.

Sumber:
Human Development Bagian V – IX (Papalia, Old, Feldman), halaman 561-562
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2009/10/about-teenagers-mind-by-elkind/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar